Sekadar peringatan berguna buat pimpinan di semua lapisan peringkat...janganlah disebabkan sifat ini kita belum dikurniakan lagi untuk mengecap kemenangan dalam pilihanraya akan datang ini.
Pertama, pengertian I’jaab bin Nafsi mengandung beberapa arti. Antara lain: “Rasa senang, tertarik, atau kagum.” A’jabahul-amruartinya “sesuatu itu telah menjadikannya senang”, u’jiba bihi, artinya, “ia menjadi terikat dengannya”. (Kitab lisanul-Arab, 1/185)
Allah SWT berfirman:
وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.(QS. al-Baqarah [2] : 221)
قُل لَّا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ ۚ
Katakanlah, “Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu.” (QS. al-Maidah [5] : 100)
كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا ۖ
Seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. (QS. al-Hadiid [57] : 20)
Kedua, kemegahan, kemuliaan, dan kebesaran. A’jabahul-amru, artinya ‘merasa megah’, ‘mulia’, atau ‘besar dengan sesuatu’. Seorang mu’jib berarti ‘orang yang merasa megah, agung dan besar’ ketika ia memiliki sesuatu, baik kebaikan atau keburukan. (Kitab lisanul-Arab,1/185)
Allah Ta’ala berfirman:
وَيَوْمَ حُنَيْنٍ ۙ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنكُمْ شَيْئًا
Dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah(mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun. (QS. at-Taubah [9] : 25)
Menurut istilah dalam dakwah, I’jaab bin-nafsi yaitu ‘rasa senang dan bahagia, baik pada diri pribadi, kata-kata, ataupun perbuatan yang dilakukannya, tanpa memperhitungkan orang lain’. Sama saja, baik kesenangan itu karena suatu kebaikan atau keburukan, yang terpuji atau tercela. Jika dalam rasa senangnya itu disertai sikap mengejek atau merendahkan perbuatan orang lain, maka hal tersebut disebut ghuruuratau sangat ‘ujub’. Dan bila rasa senangnya disertai dengan merendahkan pribadi orang lain, maka hal itu dinamakan takabbur atau sangat ‘ujub’ sekali. (Mukhtashar Minhaj al-Qashidiin, hal 247-248)
Faktor-Faktor Penyebab I’jaab Bin-Nafsi
Seseorang yang terbiasa hidup di bawah asuhan orang tua yang memiliki suka dipuji, disegani —baik dalam hal kebaikan atau kebathilan, kekbal terhadap nasihat atau kritik, dan hal-hal lain yang termasuk dalam kategori I’jaab bin-nafsi—berpeluang besar terkena penyakit itu, kecuali bagi mereka yang mendapat rahmat Allah.
Oleh karena itu, Islam memberikan penegasan akan keharusan para orang tua untuk selalu berpegang teguh dengan manhaj (aturan Allah) —sebagaimana yang telah saya kemukakan ketika membahas bahayaisraaf— karena hanya hal itu sajarah yang dapat memelihara mereka dari segala bentuk penyimpangan serta dapat menjadi suri teladan bagi seluruh anggota keluarganya.
Sanjungan dan Pujian
Ada sebagian orang yang senantiasa memperoleh pujian atau sanjungan secara langsung yang tidak memperhatikan adab memuji yang diajarkan oleh Islam, ia akhirnya tergila-gila dan mabuk kepayang karenanya. Lalu, ia beranggapan bahwa sanjungan dan pujian itu karena kelebihan dan kehebatan yang dimilikinya yang tidak dimiliki orang lain. Cetusan hati ini akan terus-menerus menari-nari dalam jiwanya sampai akhirnya ia tertimpa i’jaab bin-nafsi (membanggakan diri). Semoga Allah melindungi kita hal tersebut.
Barangkali inilah sebabnya Rasulullah shallahu alaihi wassalam mencela sanjungan dan pujian di hadapan orang yang dipuji, tetapi harus memperhatikan adab-adab yang beliau ajarkan. Mujahid bin Abi Mu’ammar meriwayatkan bahwa suatu hari pernah ada seseorang yang memuji seorang pemimpin. Kemudian Miqdad ibnul-Aswad menaburkan tanah ke mukanya, kemudian berkata:
“Rasulullah memerintahkan kami untuk menaburkan tanah kemuka orang yang suka memuji”. (HR. Muslim)
Abdul Rahman bin Abi Bakrah meriwyatkan dari ayahnya bahwa pernah seseorang memuji orang lain di dekat Rasulullah shallahu alaihi wassalam. Melihat hal itu lalu beliau bersabda, “Celakalah bagimu, kamu telah memotong leher saudaramu”. Rasulullah saw mengatakannya dengan berulang kali, kemudian bersabda lagi,”Jika salah seorang dari kalian harus memuji kawannya, maka hendaklah berkata, ‘Aku mengira fulan, dan hanya Allah yang berhak menilai, dan tidak sepatutnya seseorang menyucikan sesuatu mendahului penilaian Allah, aku mengira dia itu -jika telah mengetahuinya- begitu dan begini’.”(HR Bukhari dan Muslim)
Berteman Dengan Orang yang Ujub
Sebagaimana kita ketahui, seseorang akan sangat dipengaruhi oleh kawannya, apalagi jika kawan itu memiliki kharisma pribadi yang kuat, keahlian, dan pengalaman dalam kehidupan. Ia akan terpengaruh oleh semua yang diungkapkan kepadanya. Maka jika kawannya menderita penyakit ‘ujub’, maka dengan mudah ia juga akan dijangkiti penyakit yang sama.
Terlena Kenikmatan dan Melupakan Allah
Segolongan aktivis dakwah ada yang telah dianugerahi nikmat oleh Allah, baik berupa harta, ilmu, kemampuan, kedudukan, dan sebagainya. Kemudian ia terlena oleh nikmat itu, dan melupakan Allah yang memberi nikmat itu. Di bawah pengaruh kenikmatan itu, akhirnya ia berbisik di dalam hatinya bahwa yang memperoleh nikmat seperti ia hanyalah orng-orang yang memiliki kemampuan dan kelebihan. Seperti diungkapkan Qur’an:
إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَىٰ عِلْمٍ عِندِي ۚ
“Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.”(QS. al-Qashas [28] : 78)
Bisikan seperti itu terus-menerus akan menguasai hatinya, sehingga mengira dirinya dan apa yang dilakukan, sekalipun ia melakukan kebathilan, itu i’jaab bin-nafsi. Wallahu’alam.
0 comments:
Post a Comment